Oleh: Arby Auliananda Binu
Status : Mahasiswa S2 Politik dan Pemerintahan UGM
Editor: Rizky Zaenal Mutaqin
Kota Tasikmalaya, sering dijuluki “Kota Santri” memiliki reputasi yang kuat sebagai wilayah dengan identitas religius yang mendalam.
Hal ini tercermin dalam berbagai kebijakan Daerah, salah satunya adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat yang Religius.
Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat nilai-nilai Agama dalam tatanan sosial masyarakat Tasikmalaya.
Namun, perjalanan penerapan Perda ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang melibatkan Dinamika Sosial, Politik, dan Budaya.
Menurut Michel Foucault, kuasa dan pengetahuan merupakan dua sisi mata uang yang sama. Kekuasaan membentuk pengetahuan, dan pengetahuan memanifestasikan kekuasaan melalui praktik sosial.
Dalam konteks Perda Nomor 7 Tahun 2014, episteme religius digunakan sebagai landasan utama untuk mengatur masyarakat. Aturan ini mencerminkan dominasi nilai agama, khususnya Islam, dalam menentukan norma dan batasan sosial yang diterima di Tasikmalaya.
Namun, normalisasi nilai Agama ini tidak terjadi secara alami. Sebagaimana dijelaskan oleh penelitian Nurohman (2018), gerakan penegakan Syariat Islam di Kota Tasikmalaya merupakan hasil dari upaya kolektif kelompok-kelompok keagamaan yang mendominasi ruang diskursus publik.
Melalui Legitimasi Agama, kebijakan ini membangun struktur kuasa baru yang tidak hanya mengatur tindakan individu, tetapi juga membentuk cara pandang mereka terhadap moralitas.
Perda Nomor 7 Tahun 2014 ini terdiri dari tujuh poin utama, yakni:
Pencegahan terhadap perbuatan tercela.
Pemeliharaan keyakinan Beragama.
Pengamalan Ibadah.
Aktivitas ekonomi yang sesuai norma religius.
Penyusunan Akhlak Mulia.
Pengembangan Pendidikan. berlandaskan Nilai Agama.
Penetapan etika berpakaian yang sopan.
Regulasi ini bertujuan menciptakan masyarakat yang lebih beradab, bermartabat, dan beretika, selaras dengan visi Kota Tasikmalaya:
“Kota Tasikmalaya Yang Religius, Maju, dan Madani.”
Akan tetapi, fokus yang tinggi pada norma-norma agama tertentu mengundang pertanyaan tentang inklusivitas dan keberagaman.
Apakah kebijakan ini mencerminkan keberagaman masyarakat atau hanya mengakomodasi kelompok dominan?
Tantangan Implementasi Perda
Walaupun Tasikmalaya terkenal dengan religiusitasnya, data menunjukkan bahwa sejumlah masalah sosial masih menjadi tantangan serius.
Kota ini, misalnya, memiliki tingkat kasus HIV/AIDS tertinggi di Priangan Timur dan kasus narkoba yang meningkat tajam.
Bahkan, pada tahun 2019, jumlah pengidap HIV/AIDS mencapai 647 orang, dengan mayoritas kasus disebabkan oleh hubungan sesama jenis.
Ironisnya, kota yang dijuluki religius ini juga menghadapi kasus Korupsi yang mencoreng citra Pemerintah.
Penangkapan Wali Kota Tasikmalaya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2020 atas kasus suap dana alokasi khusus menjadi pengingat bahwa religiusitas formal tidak selalu mencerminkan integritas.
Ini menimbulkan dilema besar: apakah Perda ini benar-benar dapat mengatasi tantangan sosial ini, atau hanya berfungsi sebagai alat simbolik untuk menegaskan kekuasaan kelompok tertentu?
Argumen terhadap Perda: Keberagaman vs. Homogenitas. Salah satu kritik utama terhadap Perda ini adalah potensinya untuk menciptakan homogenitas nilai.
Dalam sebuah kota yang hampir seluruh penduduknya beragama Islam, dengan penganut Islam mencapai 98% dari total populasi, kebijakan ini dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat.
Namun, bagaimana dengan 2% lainnya? Norma berpakaian, misalnya, mungkin mencerminkan budaya Islam, tetapi bisa jadi tidak relevan atau bahkan menimbulkan ketidaknyamanan bagi kelompok minoritas.
Menurut Foucault, kebijakan seperti ini menciptakan “disiplinary power,” di mana masyarakat diawasi secara tidak langsung melalui norma-norma yang tertanam dalam kesadaran mereka.
Dalam konteks ini, religiusitas menjadi alat kontrol sosial yang mendorong masyarakat untuk “mendisiplinkan diri sendiri.” Namun, normalisasi ini dapat berbahaya jika tidak diimbangi dengan dialog inklusif.
Diskursus religius yang dominan di Tasikmalaya menghasilkan apa yang disebut Foucault sebagai “panoptikon sosial,” di mana masyarakat merasa diawasi secara moral oleh nilai-nilai agama. Kepatuhan terhadap Perda sering kali terjadi bukan karena masyarakat memahami nilai-nilai yang mendasarinya, tetapi karena tekanan sosial untuk mematuhi norma yang diterima.
Hal ini mencerminkan keberhasilan mekanisme kekuasaan dalam membentuk subjek sosial, tetapi sekaligus mengindikasikan risiko homogenisasi yang dapat mengesampingkan nilai-nilai lain.
Dalam masyarakat yang plural, keberadaan diskursus tandingan penting untuk menjaga keseimbangan.
Rethinking:
Menariknya, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Binu (2022), ditemukan bahwa Perda Tata Nilai Religius justru dimanfaatkan oleh organisasi masyarakat (ormas) tertentu untuk melanggengkan kuasanya melalui berbagai kegiatan, seperti penggerebekan tempat hiburan.
Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena perda tersebut tidak memiliki sanksi yang jelas maupun alat penegakannya. Dengan demikian, perda ini lebih berfungsi sebagai norma tanpa implementasi konkret.
Dalam praktiknya, Perda Tata Nilai Religius ini hanya menjadi simbol normatif yang tidak dapat diimplementasikan secara institusional melalui birokrasi pemerintahan formal.
Akibatnya, ranah implementasi diserahkan pada institusi informal seperti ormas religius, yang menggunakan perda ini sebagai tameng untuk menjalankan aksinya.
Tentu, harapan utama dari perda ini adalah menyelesaikan permasalahan degradasi moral yang terjadi di Kota Tasikmalaya, khususnya yang berkaitan dengan tingkah laku masyarakat.
Namun, setelah hampir 10 tahun diterapkan, apabila kita menilai dari hasilnya, perda ini masih sering disalahartikan sebagai perda syariah (lihat Binu, 2022), yang ironisnya telah dicabut oleh Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2018.
Pertanyaannya, apakah implementasi perda ini benar-benar menghadirkan perubahan signifikan terhadap tujuan awal pembentukannya? Apa saja langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam melaksanakan perda ini? Ataukah perda ini hanya menjadi alat penegasan normatif belaka?
Perlu kita cermati lebih jauh dampak dari penegasan nilai normatif dalam peraturan daerah ini. Realitanya, penegasan norma dalam regulasi formal seperti perda ternyata memiliki pengaruh besar terhadap praktik informal, terutama dalam konteks Kota Tasikmalaya.
Dengan legitimasi norma melalui regulasi daerah, perda ini memberikan legitimasi “Top-Down” bagi berbagai kegiatan yang mendukung simbolisasi keagamaan, meskipun dalam pelaksanaannya sering kali terdapat kerancuan.
Norma yang dimaksud sering kali mengacu pada pandangan mayoritas agama tertentu yang menentukan mana yang dianggap normal dan mana yang tidak normal dalam masyarakat.
Dalam implementasinya, Pemerintah Kota Tasikmalaya telah melakukan berbagai upaya untuk melaksanakan perda ini. Beberapa contoh adalah pengumandangan pengajian di perempatan jalan atau lampu merah, serta memberikan ruang bagi aktivitas ormas keagamaan dalam ranah sosial, mulai dari pengkajian agama hingga penggerebekan tempat hiburan.
Namun, penting dicatat bahwa “izin” yang dimaksud di sini bukanlah izin administratif formal, melainkan legitimasi yang berasal dari kuasa pengetahuan, di mana masyarakat menerima norma tertentu sebagai sesuatu yang benar dan normal.
Dengan ditegaskannya norma-norma tersebut melalui perda, hal ini memberikan pembenaran atas tindakan-tindakan yang dianggap mendukung moralitas, termasuk tindakan pembasmian terhadap apa yang dianggap tidak normal.
Namun, setelah enam tahun berjalan, perubahan yang diharapkan dari perda ini belum terlihat signifikan.
Hal ini mengundang pertanyaan besar: apakah perda ini benar-benar sejalan dengan tujuan awalnya untuk menyelesaikan permasalahan degradasi moral di Kota Tasikmalaya? Ataukah justru menciptakan masalah baru?
Hal yang perlu dipikirkan ulang (re-thinking) adalah sejauh mana perda ini mampu menjawab tantangan moral di masyarakat dan bagaimana dampaknya terhadap dinamika sosial.
Jika tidak disertai langkah implementasi yang terukur dan inklusif, perda ini hanya akan menjadi simbol tanpa substansi, yang pada akhirnya memperkeruh masalah sosial alih-alih menyelesaikannya.
Kesimpulan
Perda Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat Yang Religius di Tasikmalaya adalah kebijakan ambisius yang mencerminkan dominasi nilai religius dalam masyarakat.
Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada sejauh mana pemerintah mampu menjadikannya inklusif dan relevan dengan tantangan sosial yang dihadapi.
Dengan pendekatan yang lebih holistik, Perda ini dapat menjadi katalisator perubahan positif, tidak hanya dalam menjaga nilai religius, tetapi juga dalam memperkuat solidaritas sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Tasikmalaya memiliki potensi untuk menjadi model kota religius yang pluralis, asalkan kebijakan ini terus dievaluasi dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. (*)