Relasi Agama dan Negara Ditengah Modernisasi Barat

  • Bagikan
banner 468x60

Penulis: Maulana Yusuf

(Peserta Advance Training LK-III HMI Badko Riau/Kepri)

Islam hadir membawa misi perbaikan adab untuk manusia. Membentuk manusia yang tadinya biadab menjadi beradab, membentuk manusia yang insan kamil (manusia sempurna). Dari misi ini ditanamkan kepada setiap individu yang kemudian individu juga menyebarkan (dakwah) kepada individu lainnya. Hingga pada akhirnya dari indiviu bertransformasi menjadi sebuah komunitas sehingga menimbulkan masyarakat, khususnya masyarakat islam. Masyarakat dengan masyarakat diikat oleh cita – cita bersama dan kesamaan sejarah dan bahasa yang kemudian membentuk suatu bangsa. Agar memperkokoh kekuatannya, dibentuklah suatu isntitusi resmi yang mana institusi ini nantinya mengakomodir keinginan rakyatnya, yaitu membentuk suatu Negara.

Pembentukan Negara islam diawali oleh Rasulullah Muhammad SAW, ketika beliau hijrah dari Mekah ke Madinah. Madinah menjadi titik balik dimana daulah atau Negara Islam terbentuk. Kepemimpinan Rasulullah kemudian dilanjutkan oleh para sahabat atau lebih sering kita kenal dengan Kulafaurrasyidin. Dilanjutkan oleh keturunan Ummayah, kemudian Abbassiyah dan terakhir Utsmani sebegai bentuk resmi dari kerajaan Islam.

Negara islam yang dibangun oleh Rasulullah dan dikembangkan oleh sahabat sejatinya tidak memiliki bentuk baku dalam prakteknya. Tentunya hal ini bisa kita lihat ketika masa kulafaurrasyidin ketika peralihan kepemimpinan dari Abu bakar kepada Umar dan dari Umar kepada Utsman. Dimana ada cara yang berbeda ketika menentukan dua pemimpin islam ini. Proses peralihan dari Abu Bakar ke Umar dilakukan secara aklamasi, Umar dipercaya dan menjadi satu – satunya pilihan pada saat itu. Kemudian dari Umar kepada Utsman dilakukan atas kesepakatan dengan asas Ahlul Halli wal Aqdi (dewan syuro) yang dibentuk semasa Utsman. Kesamaan pola penunjukan kepemimpinan dilakukan ketika masa setelah kulafaurrasyidin yaitu era kedinastian. Era kedinastian ini dimulai ketika masa Umayyah dan terakhir masa Utsmani yang runtuh pada tahun 1924.

Namun pola kesamaan bentuk penunjukan kepemimpinan yang dilakukan oleh Dinasty sudah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh rasulullah?. Sayangnya hal itu tidak sama sekali. Dalam pola kedinastian proses peralihan kepemimpinan diberikan kepada keturunannya. Bukan berdasar asas kemusyawaratan yang direkomendasikan oleh nabi dan dilakukan oleh kulafaurrasyidin. Dari sinilah perdebatan pemikiran tentang bentuk kenegaraan islam terus terjadi.

Sekitar abad ke 15 ketika Barat sedang mengalami pergelutan dengan kebodohan dan moral, agama hadir sebagai isntitusi yang mengatur masyarakat. Agama berperan dalam pembentukan perilaku dan adab yang terjadi pada saat itu. Seiring dengan berjalannya waktu, Barat yang mulai bersentuhan dan akrab dengan pengetahuan, etika dan moral mulai ada perubahan dalam tatanan sosialnya. Namun, keinginan Barat untuk lepas dari kejumudan bertentangan dengan agama. Agama menjadi satu – satunya sumber pengetahuan. Hegemoni gereja sampai kepada dibatasinya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, hal ini yang mengakibatkan pemerintah tidak memiliki pengaruh ynag besar dalam masyarakat.

Abad ke 17 menjadi titik balik masyarakat Eropa yang menginginkan kebebasan. Mayarakat Eropa mulai skeptis terhadap kebenaran gereja. Mereka beranggapan bahwa akebebasan dan kemajuaan akan diraih jika kehidupan terlepas dari gereja. Dari sinilah mulai ketidakpercayaan dan pemisahan antara agama degan Negara. Negara tidak boleh dimasukan dengan agama. bahkan filsuf Jerman berpendapat bahwa agama baru adalah politik, karena itu politik harus dijadikan agama baru. Apakah islam sebagai agama juga demikian menjadi penghalang akan perkembangan penegtahuan, dan menjadi institusi yang menakutkan ketika masuk kedalam tatanan kepemerintahan?

 

*Tulisan ini Sepenuhnya menjadi Tanggung jawab Penulis.

banner
  • Bagikan