Penulis: Muhammad Nurfikri
Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi
Serangan Militer Rusia terhadap Ukraina menjadi tantangan besar bagi seluruh Dunia. Serangan dimulai secara resmi pada 24 Februari 2022 dibeberapa kota penting di Ukraina, seperti Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupo (sef 2022).
Hubungan Rusia dan Ukraina mengalami pasang surut salah satunya dengan pergantian rezim yang membawa kebijakan Ukraina Pro-Barat yang mengakibatkan berkurang nya Peran Rusia.
Selain itu, Ukraina juga memiliki keinginan untuk menjadi anggota Uni-Eropa, dan dalam perkembangan nya kemudian muncul keinginan dari Pemimpin Ukraina Pro-Eropa untuk menjadi anggota North Atlantic Treaty Organization atau dikenal dengan NATO (Syuryansyah and Berthanila 2022).
Konflik antara Rusia dan Ukraina yang meletus sejak Februari 2022 telah membawa dampak global yang signifikan di berbagai sektor, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi.
Namun, dalam hal ini saya mencoba mendeskripsikan analisis saya khusus nya pada politik beserta celah diantara proses diplomasi yang berakibat langsung ataupun tidak langsung pada dinamika politik Indonesia.
Dari sisi Politik, invasi Rusia ke Ukraina memicu ketegangan diplomatik antara negara-negara Barat dan Rusia, memperburuk hubungan antara blok NATO dan Rusia, serta memunculkan kembali nuansa Perang Dingin dalam geopolitik dunia (Agustina and Barus 2023).
Sebagai negara yang menganut prinsip politik luar negeri bebas aktif, Indonesia memiliki peran strategis dalam berbagai isu internasional, termasuk dalam konflik Rusia–Ukraina. Ditengah polarisasi global antara blok Barat dan Rusia, Indonesia menempatkan diri sebagai negara yang netral namun aktif mendorong penyelesaian damai melalui jalur diplomasi (Johnson Kennedy 2023). Posisi Indonesia sebagai negara berkembang, anggota G20, dan bagian dari berbagai forum internasional menjadikannya aktor penting dalam meredakan ketegangan global.
Netralitas ini memberikan kepercayaan dari kedua belah pihak, sehingga Indonesia berpotensi menjadi mediator atau fasilitator dialog antara Rusia dan Ukraina, atau setidaknya mendorong kesepakatan di bidang kemanusiaan, seperti pembukaan koridor bantuan dan gencatan senjata (Komala et al. 2023).
Komitmen Indonesia terhadap perdamaian internasional tercermin secara konkret dalam kebijakan luar negeri di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pada pertengahan tahun 2022, Presiden Jokowi melakukan kunjungan langsung ke Kyiv dan Moskow untuk bertemu dengan Presiden Volodymyr Zelensky dan Presiden Vladimir.
Negara-negara di dunia mengambil berbagai posisi dan peran, baik secara aktif terlibat dalam diplomasi maupun secara simbolik menunjukkan sikap politik luar negeri mereka. Indonesia sebagai negara dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif, tidak tinggal diam. Pada tahun 2022, Presiden Joko Widodo mengambil langkah diplomatik yang jarang terjadi dalam sejarah Indonesia dengan mengunjungi langsung Kyiv dan Moskow keduanya tengah berada di tengah perang.
Langkah ini sempat menuai pujian dan disebut sebagai “diplomasi damai Indonesia.” Namun, di balik langkah simbolik tersebut, muncul pertanyaan penting, seberapa besar efektivitas dan relevansi langkah Jokowi dalam menyelesaikan konflik global berskala besar tersebut? Apakah kunjungan tersebut semata demi misi kemanusiaan dan perdamaian, ataukah sarat dengan muatan politis domestik dan ambisi personal?
Indonesia saat itu dalam posisi sebagai negara berkembang yang tidak tergabung dalam blok kekuatan besar seperti NATO atau BRICS, mencoba memainkan peran “jembatan dialog” melalui kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia. Dalam kunjungan tersebut, Jokowi bertemu langsung dengan Presiden Volodymyr Zelensky di Kyiv dan Presiden Vladimir Putin di Moskow.
Ia menyampaikan pesan penting terkait pentingnya gencatan senjata, pembukaan akses bantuan kemanusiaan, dan mengajak kedua negara untuk membuka dialog damai.
Kunjungan ini menandai pertama kalinya pemimpin dari Asia Tenggara secara langsung hadir di dua ibu kota negara yang sedang berkonflik dalam waktu yang sangat berdekatan. Langkah ini dipandang sebagai upaya konkret dari Indonesia dalam menghidupkan kembali diplomasi global yang damai, dan menunjukkan netralitas Indonesia di tengah polarisasi tajam antara Barat dan Rusia.
Selain itu, Indonesia saat itu juga menjadi tuan rumah G20, yang membuat posisi diplomatiknya menjadi lebih strategis di mata dunia internasional.
Namun, meskipun langkah ini bersifat simbolik dan diplomatis, hingga saat ini tidak ada hasil konkret yang muncul dari kunjungan tersebut. Perang masih berlangsung, perundingan damai belum membuahkan hasil, dan dampak ekonomi global tetap dirasakan oleh masyarakat dunia, termasuk rakyat Indonesia.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia lebih merupakan strategi pencitraan politik di kancah internasional ketimbang sebuah inisiatif diplomasi yang substansial dan realistis. Indonesia, dalam konteks kekuatan global, bukanlah aktor utama yang memiliki kapasitas langsung untuk memaksa kedua negara yang sedang berperang menghentikan agresinya. Indonesia bukan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, bukan kekuatan militer besar, dan tidak memiliki leverage politik maupun ekonomi terhadap Rusia maupun Ukraina.
Langkah Jokowi lebih terlihat sebagai upaya untuk menaikkan citra kepemimpinannya secara internasional di penghujung masa jabatannya. Perlu diingat, saat itu suhu politik dalam negeri mulai memanas menjelang Pemilu 2024.
Sebagai presiden yang tidak dapat mencalonkan diri lagi, citra Jokowi yang baik di dunia internasional akan memberikan nilai tambah bagi “legacy politik”-nya maupun kandidat yang diduga didukungnya dalam Pilpres mendatang.
Jika tujuannya benar-benar perdamaian, maka pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan seharusnya ditempuh, seperti penguatan peran ASEAN, PBB, atau forum-forum non-blok lainnya yang lebih memiliki legitimasi dalam konteks penyelesaian konflik internasional.
Alih-alih menghasilkan perdamaian, langkah tersebut justru terlihat seperti sebuah “tour diplomatik” yang dibungkus dengan narasi kemanusiaan namun sarat nuansa simbolik dan politis.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia pada tahun 2022 memang menandai momen penting dalam sejarah diplomasi Indonesia. Secara formal, langkah tersebut menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap perdamaian dunia dan krisis kemanusiaan global.
Namun, dalam kenyataannya, kunjungan tersebut belum membuahkan hasil konkret dan lebih banyak menimbulkan kesan sebagai strategi pencitraan global.
Sebagai negara berkembang dengan kekuatan terbatas dalam sistem internasional, Indonesia sebaiknya lebih realistis dalam mengambil peran global, dan fokus pada memperkuat kerja sama regional, penguatan peran ASEAN, dan diplomasi multilateral berbasis norma dan konsensus.
Jika tidak, langkah-langkah seperti kunjungan Jokowi ke zona perang hanya akan dikenang sebagai upaya pencitraan personal di tengah gejolak politik domestik menjelang Pemilu. Presiden Jokowi perlu perlu sadar bahwa tampil di panggung global tidak bisa hanya mengandalkan idealisme dan simbolisme semata. Kekuatan diplomasi suatu negara sangat ditentukan oleh kredibilitas, konsistensi, dan kekuatan strategis di baliknya.
Indonesia, yang selama ini lebih dikenal sebagai middle power, belum memiliki cukup modal diplomatik maupun militer untuk benar-benar menjadi pemain utama dalam penyelesaian konflik internasional tingkat tinggi. Maka dari itu, upaya tampil sebagai penengah perang Rusia–Ukraina, tanpa dukungan diplomatik lanjutan atau hasil konkret, sangat berisiko menjadi gimmick politik yang kehilangan makna substansial.
Lebih jauh, jika memang kunjungan itu dilakukan untuk kepentingan politik domestik, seperti mendongkrak elektabilitas calon tertentu atau memperkuat citra presiden di ujung masa jabatan, maka publik patut mengkritisi dan mengevaluasi penggunaan isu luar negeri sebagai alat kampanye terselubung.
Politik luar negeri seharusnya tidak dikomodifikasi demi kepentingan politik jangka pendek, apalagi dalam isu kemanusiaan yang melibatkan ribuan korban jiwa dan penderitaan warga sipil.
Rakyat Indonesia membutuhkan kebijakan luar negeri yang visioner, bukan sekadar seremonial. Maka sudah saatnya bagi kita untuk tidak mudah terbuai oleh simbol dan retorika, tetapi menuntut kebijakan yang benar-benar berdampak nyata, baik bagi dunia maupun bagi kepentingan nasional kita sendiri. (*)