Mencintai Bahasa Ibu; Mun Teu Wanoh Moal Bogoh

  • Bagikan
banner 468x60

Oleh: Ade Zaenul Mutaqin

Bahasa tidaklah sekedar alat komunikasi, di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya, identitas, makna dan filosofis yang sangat kaya bagi sebuah bangsa. Kehilangan suatu bahasa, maka kehilangan warisan budaya dengan segala kekayaannya tersebut. Dalam ungkapan bahasa sunda sering kita dengar, “Basa teh ciciren bangsa; Leungit basana, musna bangsana”. Bahasa seperti halnya jenis-jenis kebudayaan yang lain, bisa mengalami kepunahan jika tidak dirawat dan dilestarikan. Misalnya bahasa Sanksakerta dan bahasa Latin, yang mengalami kepunahan, walaupun bahasa tersebut sampai sekarang masih dipelajari.

Bahasa menurut Bopp (1827; dalam Jespersen 1922: 65), dapat diibaratkan sebagai makhluk hidup, berkembang dan lambat laun bisa mengalami kematian. Hal ini ditegaskan pula oleh Tampubolon (1999: 4) bahwa kematian bahasa (the tdeath of language) tidak terjadi secara tiba-tiba dan mendadak, tetapi melalui proses yang panjang (Cece Sobarna, 2017). Banyak teori yang menjelaskan tentang kematian bahasa, namun intinya bahasa akan tetap eksis selama masih digunakan sebagai alat komunikasi atau masih terdapat penuturnya, namun sebaliknya jika bahasa tersebut tidak dipakai lagi atau sudah tidak terdapat penuturnya, dipastikan bahasa tersebut mengalami kematian atau kepunahan.

Bahasa Sunda merupakan bahasa daerah terbesar dengan jumlah penutur kedua terbanyak di Indonesia setelah bahasa Jawa. Bahasa Sunda dituturkan oleh penduduk di hampir semua wilayah Jawa Barat, Banten, serta sebagian wilayah Jawa Tengah mulai dari Kali Brebes (Sungai Cipamali) di wilayah Kabupaten Brebes dan Kali Serayu (Sungai Cisarayu) di Kabupaten Cilacap, serta di sebagian kawasan Jakarta. Namun saat ini, banyak kalangan yang mulai mengkhawatirkan eksistensi dan masa depan bahasa Sunda, sehubungan dengan semakin berkurangnya jumlah penuturnya dalam kehidupan sehari-hari. Memang tidak ada angka yang pasti yang menggambarkan jumlah penurunan tersebut, namun gejalanya terasa nampak jelas. Tidak sedikit kalangan generasi muda, bahkan banyak masyarakat umum Jawa Barat yang dalam pergaulan sehari-harinya tidak lagi menggunakan bahasa Sunda sebagai alat komunikasnya. Selain itu, banyak juga keluarga di Jawa Barat yang tidak menjadikan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu untuk anak-anaknya.

Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Perlu penelitian dan kajian yang komprehensif untuk dapat menjelaskannya secara akademis. Namun paling tidak, jika dilihat secara sepintas, sebagai prawacana dapat diungkapkan, penyebab dari kondisi tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, mulai lunturnya rasa kecintaan dan kebanggaan (kareueus) orang Sunda terhadap bahasanya sendiri, khususnya di kalangan generasi muda. Seolah ada perasaan tidak percaya diri dan mider ketika menggunakan bahasa daerah (bahasa Sunda) dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan ada sterotif negatif yang sering muncul dalam tontonan televisi, seringkali orang yang berbahasa daerah atau dengan dialek bahasa daerah dianggap konservatif. Ajip Rosidi (2016:116) menilai sudah sejak lama nampak kecenderungan banyak orang Sunda yang tidak merasa bangga (reueus) dan merasa tidak penting dengan bahasa Sunda, sehingga mereka enggan menggunakannya.

Dibutuhkan sikap positif seperti rasa hormat dan bangga terhadap bahasa Sunda, sebagai modal dan energi dalam merawat dan melestarikan bahasa Sunda. Untuk itu, perlu kembali dibangun rasa kebanggaan orang Sunda terhadap budaya dan bahasanya sendiri. Menurut Asep Salahudin (2017:154) orang Sunda harus menegaskan dan memahami “Kaaingan’’ (hakikat dan jati diri)-nya. “Kaaingan” bukanlah rasa ego dan individualisme, melainkan kesadaran orang Sunda akan eksistensi atau jati diri kesundaannya. Hliangnya rasa kaanginan akan memudahkan budaya luar mengobrak-abrik budaya sendiri, dan akhirnya terjadi apa yang dinamakan oleh Gramsci, hegemoni. Jati kasilih ku junti.

Kedua, faktor teknis, yaitu kesukaran dalam penggunaannya, khususnya dalam penerapan (ngalarapkeun) undak usuk basa (unggah-ungguhing basa). Tidak semua orang sunda memahami dan menguasai kaidah penerapan undak usuk tersebut, kendati hal tersebut diajarkan di sekolah-sekolah. Menurut Ajip Rosidi (2016:120-121), bahwa undak usuk memberikan beban tersendiri bagi penuturnya. Banyak orang Sunda yang merasa takut salah kalau berbicara Sunda. Daripada kemudian mendapat ancaman sosial dianggap kampungan, ditertawakan, tidak tahu sopan santun atau tidak berbudaya, maka penggunaan bahasa Sunda pun akhirnya sering dihindari. Kang Ajip memang mengkritik tentang undak usuk itu (Lihat Ajip Rosidi, 2016: Masa Depan Budaya Daerah). Menyikapi fenomena tersebut, menurutnya lebih baik orang Sunda berbicara dalam bahasa Sunda yang banyak salahnya dan tidak sesuai dengan ketentuan undak usuk basa, daripada mereka tidak berani berbicara dengan bahasa ibunya sendiri.

Terlepas dari perdebatan tentang undak-usuk tersebut, kiranya kita sebagai orang Sunda, khususnya generasi muda, berkewajiban untuk terus meningkatan literasi kasundaan, khususnya tentang bahasa Sunda. Ada ungkapan dalam bahasa Sunda “mun teu wanoh moal bogoh”. Bagaimana kita dapat mencinta bahasa Sunda, kalau kita tidak mengenalnya. Banyak cara yang bisa kita lakukan, salah satunya adalah banyak membaca dan memperlajari buku-buku yang berbahasa Sunda dan/atau tentang budaya atau bahasa Sunda. Membentuk komunitas-komunitas berbahasa Sunda, termasuk di di dunia maya, bisa dilakukan. Hal terpenting lagi adalah mulai belajar dan berani menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-hari (tentunya dengan sama-sama penutur bahasa Sunda). Bisa juga dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana, seperti contohnya coba sekali-kali menuliskan status di Facebook, WhatsApp, Twitter atau caption dalam Instagram menggunakan bahasa Sunda. Ada meme yang menarik yang penulis temukan di internet, “Najan pesbuk meunang nyieun batur, urang Sunda kudu bisa apdet status ku basa Sunda.

Seiring perkembangan zaman, untuk tetap bisa eksis, bahasa Sunda sama seperti halnya bahasa-bahasa daerah yang lain menghadapi tantangan yang tidak mudah. Dibutuhkan komitmen dan berbagai upaya (tarekah) yang kreatif, untuk menjaga dan merawat bahasa Sunda (dan jenis budaya lainnya) agar tetap lestari, adaptif dan selaras dengan perkembangan zaman yang selalu berubah dengan cepat. Salah satunya kuncinya menurut Ajip Rosidi (2016:57) adalah orang-orang sunda harus memiliki Jiwa rancage. Dengan jiwa rancage, beliau meyakini orang Sunda dapat melahirkan karya-karya yang berjiwa Sunda walaupun (tentu) berlainan dengan karya-karya yang diciptakan sebelumnya. Jiwa rancage akan menciptakan bentuk atau buah-buah budaya yang sesuai dengan zamannya.

Tanggal 21 Pebruari yang diperingati UNESCO sebagai Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day), adalah momentum yang tepat untuk kita semua melakukan refleksi, sejauh mana kecintaan kita terhadap bahasa Sunda sebagai basa indung, dan sejauh mana pula tarekah kita dalam upaya menjaga dan merawatnya. Mun teu ku urang rek ku saha, mun teu ayeuna rek iraha.

Selamat Hari Bahasa Ibu Internasional.
Basa indung masing nanjung, basa Sunda sing jamuga.

*) Penulis adalah pecinta budaya Sunda.

(Faisal/tasikraya)

banner
  • Bagikan