KURSI DAN KUASA RAKYAT

  • Bagikan
banner 468x60

Oleh: Ade Zainul Muttaqin

Kursi merupakan salah satu furniture yang sangat istimewa dibandingkan dengan furniture lainnya. Dalam keseharian aktifitas manusia tidak bisa dilepaskan dengan kursi. Selain sisi fungsional, kata kursi juga memiliki makna simbolik yang sering digunakan dalam narasi sosial, budaya dan politik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kursi memiliki dua arti, yaitu: 1. Tempat duduk yang berkaki dan bersandaran; 2. Kedudukan, jabatan (dalam parlemen, kabinet, pengurus dan sebagainya). Dalam Undang-Undang Pemilu terdapat juga kata kursi yang digunakan untuk menunjuk pada satuan atau sejumlah keanggotaan legislatif dalam suatu parlemen. Sementara itu dalam Bahasa Arab juga terdapat lafad “kursy” yang artinya adalah kursi sebagai tempat duduk. Namun dalam Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 255 walaupun terdapat lafad “kursy” (sehingga dinamakan ayat kursi), sepertinya lafad tersebut tidak bisa dimaknai sebagai tempat duduk. Para ahli tafsir lebih memaknai lafad “kursy” pada ayat itu sebagai ilmu atau kekuasaan, yakni ilmu atau kekuasaan Allah yang sangat luas dan tak terbatas, yang meliputi langit-langit dan bumi.

Munculnya kursi tidak bisa dilepaskan dengan aktifitas duduk yang dilakukan manusia, walaupun pada awalnya kebiasaan duduk yang dilakukan oleh masyarakat di zaman kuno tidak menggunakan kursi. Pada zaman tersebut duduk di atas kursi hanya dilakukan oleh orang berstatus sosial tinggi dan para bangsawan. Sehingga dari hal tersebut kursi kemudian menjadi simbol ukuran status sosial dan kedudukan yang terhormat bagi seseorang di tengah-tengah masyrakat. Hingga pada akhirnya istilah kursi pun mengalami perluasan makna, yakni tidak sebatas fasilitas duduk (seating facility), namun dimaknai juga sebagai kekuasaan. Seperti halnya juga konteks politik istilah kursi dikonotasikan dengan makna kekuasaan.

Kata kursi walaupun telah sangat familiar digunakan sehari-hari oleh masyarakat, uniknya menurut telaah Eddy Supriatna Mz (2010: 301) bahwa di dalam beberapa kamus bahasa Jawa-Indonesia tidak ditemukan istilah kursi. Kursi sebagai sarana duduk menggunakan istilah dhampar, yaitu tempat duduk raja. Demikian pula dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) tidak terdapat istilah kursi, tetapi menggunkan istilah singaksana, singasana, singhasana, dirgaatsna, dirgasana, padmasana yang artinya dhampar (Winter & Ranggawarsita, 2003:10, 39, 191, 249), sehingga dikenal sekarang istilah singgasana yang artinya tempat duduk para raja. Isilah kursi menjadi sangat agung, sakral, dan relijius ketika ditinjau dari konteks kekuasaan Allah, karena hanya Allah yang memiliki “kursi” yang sangat luas dan tak terbatas.

Pemilu dalam rangka “memperebutkan” kursi telah usai. Beberapa parpol telah mendapatkan sejumlah kursi. Para calon terpilih akan duduk pada kursi yang telah dialokasikan dan didapatkan. Duduk pada kursi dalam arti yang sebenanrnya untuk melaksanakan tugas-tugas harian sebagai anggota dewan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Juga duduk dalam pengertian menempati ‘ruang kuasa’ dengan kewenangan tertentu sebagai wakil rakyat. Kursi yang diduduki tersebut bukanlah bentuk fisikal yang bisa dibeli dengan materi. Itu merupakan perwujudan kuasa rakyat yang dititipkan di pundak para anggota dewan untuk digunakan sebagai sarana pengabdian kepada rakyat yang diwakilinya.

Namun ketika kursi dimaknai sebagai kuasa, harus diingat sebuah adagium yang disampaikan oleh Lord Acton seorang sejarawan Prancis, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Jika tidak hati-hati, seseorang yang memiliki kekuasaan ada kecenderungan untuk menyalahgunakannya. Kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya tidak lagi digunakan sebagai sarana untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, tapi malah untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri. Duduk di atas kursi kadang membuat nyaman, bisa bersantai, bermalas-malasan bahkan membuat lupa. Lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Lupa ia duduk berkat siapa dan untuk siapa. Lupa akan janji-jani yang telah disampaikan kepada masyarakat saat berkampanye. Lupa akan tugas-tugas dan misi suci (sacred mission) sebagai wakil rakyat. Tentu, hal tersebut tidak boleh terjadi. Anggota dewan terpilih diharapkan dapat memaksimalkan fungsi “kursi” tersebut untuk melaksanakan tugas, peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya.

Sebagai wakil rakyat, sejatinya mereka memiliki sifat berbudi bawaleksana, yaitu suka memberi atau murah hati dan teguh terhadap janji. Suka memberi tidak bermakna materi saja, tapi lebih daripada itu bagaimana ia mesti berbuat sesuatu yang lebih untuk rakyatnya secara ikhlas tanpa mengharapkan apapun. Hanya semata pengabdian demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Pun demikian janji-janji yang telah disampaikan akan diperjuangkannya dengan sekuat tenaga. Janji baginya adalah komitmen dan hutang kepada rakyat yang harus dilunasi dengan tindakan nyata.

Dengan kursi yang didudukinya seorang wakil rakyat tidak boleh terasingkan (mengasingkan diri) dengan rakyatnya. Rakyat adalah bagian dari dirinya. Kursi yang didapat adalah titipan dari rakyat, maka mau tidak mau ia harus meyatu dan mengabdi secara tulus kepada rakyat (ngawula ka wayahna). Ia harus mampu melihat lebih jauh, mendengar lebih tajam, bersuara lebih nyaring, merasa lebih peka, dan berbuat lebih keras untuk rakyatnya. Selanjutnya, walaupun para wakil rakyat memiliki kedudukan dan status sosial yang tinggi dan prestisius di tengah masyarakat, mereka harus tetap membumi, rendah hati, tidak boleh sombong apalagi ingin dipuji-puji serta disanjung dengan kemewahan (teu agung kamagungan, teu paya diagreng-agreng), juga tentunya harus bersikap bijaksana dan adil kepada rakyatnya (agung maklum sarta adil) serta bisa memberi teladan yang baik terhadap rakyatnya.

Sebagai bahan renungan, berkaitan dengan kursi Cak Nun sempat menulis sebuah artikel (dalam buku Titik Nadir Demokrasi) dengan judul “Ya Allah Lindungilah Aku dari Kursi”. Cak Nun menyebutkan ada seorang penulis di zaman Nabi Sulaiman AS yang berpesan tentang kursi : “Kalau kursi yang kau duduki kau anggap sebagai kekuasaan, dan bukan tugas pelayanan kerumahtanggan bersama, maka tunggu saatnya kau akan dikalahkan oleh si kursi. Kalu kau anggap kursi sebagai keunggulan dan bukan sebagai tanggung jawab yang dititpkan, maka kepribadianmu akan digerogoti si kursi sampai keropos. Kalu kursi itu kau perlakukan sebagai kekuatan, dan bukan amanat yang dibebankan, maka kau akan ambruk dicampakan oleh si kursi.” Dia juga menambahkan bahwa kursi memang sakti, jika manusia hanya mampu melahirkan manusia, kambing melahirkan kambing, jin beranak jin, tapi kursi yang tak bernyawa justru mampu melahirkan macam-macam. Seseorang raja yang baik hati dan santun gara-gara kursi bisa berubah menjadi monster yang menakutkan. Seorang ulama yang mahfuzh gara-gara kursi bisa kehilangan ma’rifatnya. Seorang intelektual, gara-gara kursi bisa tumpul cahaya kecerdasannya. Maka diperlukan jiwa yang muthmainnah dan mental yang zuhud untuk dapat bergaul dan duduk di atas kursi.

Kursi jangan dijadikan lambang kemewahan dan kemegahan. Kursi tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk menumpuk harta kekayaan. Kursi justru harus dijadikan sebagai sarana untuk memberikan kemanfaatan yang lebih luas kepada sesama manusia, khairunnaas anfa’uhum linnaas. Pada akhirnya harus disadari sepenuhnya, bahwa kursi adalah amanat yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat pemberi mandate kuasa, dan juga pastinya kelak di hadapan Allah yang Maha Kuasa Sang Pemilik Kursi Sejati.

Ketua KPU Kota Tasikmalaya
(Peminat Kajian Politik Sosial dan Budaya)

banner
  • Bagikan