Oleh: Dr. Ade Zaenul Muttaqin, M.Pd. (Ketua KPUD Kota Tasikmalaya)
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelengaraan Pemilihan Umum disebutkan bahwa Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945. Janedri M. Gaffar (2012:5) menyebutkan pemilihan umum dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada di tangan rakyat serta wujud paling konkrit partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Sementara itu Ferry Kurnia Rizkiansyah (2007: 4) menjelaskan bahwa pemilu adalah salah satu pranata yang paling refresentatif atas berjalannya proses demokrasi. Tidak pernah ada demokrasi tenpa pemilihan umum. Oleh sebab itu, di setiap Negara yang menganut demokrasi, pemilihan umum menjadi penting dalam menentukan sejarah politik di negara masing-masing. Menempatkan pemilu sebagai alat demokrasi berarti meposisikan pemilu dalam fungsi aslinya sebagai wahana pembentuk pemerintahan yang representatif.
Dalam implementasinya, pemilu memerlukan tata cara atau prosedur, yang harus dibuat untuk dapat menjamin hak-hak rakyat dapat terlayani dengan sebaik-baiknya. Maka UUD 1945 mengatur hal tersebut, mulai dari penyelenggara Pemilu, Tujuan Pemilu dan Prinsip-prinsip pemilu. Bahkan disusun secara khusus Undang-undang yang mengatur tentang aturan-aturan tentang Pemilu. Bahkan dari undang-undang tersebut untuk implementasinya dibuat peraturan KPU untuk mengatur tentang tata cara dan prosedur pelaksanaan pemilihan umum, yaitu: ketentuan dan syarat-syarat pemilih, ketentuan dan syarat-syarat peserta pemilu, penataan daerah pemilihan dan alokasi kursi, tata cara pencalonan, tata-cara kampanye dan pelaporan dana kampanye, tata cara pemungutan dan penghitungan suara, tata cara rekapitulasi hasil penghitungan suara, hingga tata cara dan mekanisme penetapan perolehan kursi dan calon terpilih. Untuk melaksanakan semua ketentuan teknis tersebut disusun pula tahapan, program dan jadwal. Bahkan selain itu pula Bawaslu sebagai lembaga yang mengawasi pemilu, juga membuat berbagai aturan dan prosedur tentang tata cara pengawasan Pemilu. Semua ketentuan dan prosedur tersebut disusun agar pemilu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Tidak boleh ada warga Negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih yang tidak terlayani. Tidak boleh pula ketentuan dan prosedur tersebut menguntungkan sebagian pihak dan merugikan pihak yang lainnya.
Dalam sejarahnya Indonesia sudah labih dari sepuluh kali menyelenggarakan Pemilihan Umum, dan semuanya berjalan dengan baik dan lancar. Prosedur pemilu dari pemilu ke pemilu tentunya terus disempurnakan, untuk lebih menjamin pelaksanaan pemilu dapat berjalan lebih baik dan lebih berkualitas. Pemilu tahun 2019 adalah pemilu serentak pertama yang penggabungkan pemilhan Presiden dan legislatif secara bersamaan. Untuk menyelenggarakan hal tidaklah mudah. Secara prosedur teknis dan administratif tentu tidaklah mudah, sangat rumit, apa lagi dengan jumlah pemilih yang sangat banyak dan geografis yang sangat luas. Namun demikian, alhamdulillah Pemilu tersebut dapat diselenggarakan dengan baik. Bahkan dunia internasional banyak yang memberikan pujian. Kalaupun ada pihak yang tidak merasa puas dan menyampaikan kritik, dalam sebuah kontestasi elektoral adalah hal yang biasa, dan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan catatan untuk perbaikan pelaksanaan pemilu selanjutnya.
Suksesnya penyelenggaraan pemilu tersebut, apalagi dengan partisipasi pemilih yang tinggi, merupakan suatu prestasi yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dianggap memiliki kesadaran dan kedewasaan yang tinggi dalam melaksanakan pemilu. Pemilu yang dilaksanakan secara regular dengan prinsip-prinsip yang demokratis, juga merupakan salah satu indikator bahwa proses demokrasi di suatu Negara masih berjalan. Bahkan menurut Arnt Lijphart sebagaimana dikutip oleh Usman Hamid (2019), bahwa “suatu Negara telah mencapai demokrasi yang stabil jika telah mampu menyelenggarakan pergantian elite pemerintahan lewat pemilihan yang jujur dan adil selama 19 tahun tanpa kudeta atau perang saudara.” Jika apa yang dipesyaratkan Lijphart tersebut, sebagai patokan, Indonesia bisa dikatakan telah mencapai tahapan demokrasi yang stabil.
Namun demikian dalam spektrum demokrasi yang lebih luas, pemilu barulah sebagian aspek saja dari demokrasi. Masih banyak indikator lainnya yang harus dipenuhi, sebuah Negara bisa disebut benar-benar demokratis. Berdasarkan rilis dari Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, pada tahun 2018 Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) mencapai angka 72,39 poin, mengalami peningkatan 0,28 poin dari tahun sebelumnya, 72,11 poin. Walaupun terdapat kenaikan, angka tersebut capaian poin tersebut masih dalam skala sedang. Ada tiga aspek yang digunakan untuk mengukur indeks tersebut, yaitu aspek kebebasan sipil, aspek hak-hak politik dan kelembagaan demokrasi. Dari ketiga aspek tersebut aspek kelembagaan demokrasi yang mengalami peningkatan signifikan sebesar 2,76 poin dari 72,49 menjadi 75,25, sedangkan pada aspek kebebasan sipil mengalami penurunan 0,29 poin dari 78,75 menjadi 78,46, dan aspek hak-hak politik juga mengalami penurunan 0,84 poin dari 66,63 menjadi 65,79.
Untuk dapat melihat secara spesifik capaian kinerja demokrasi tersebut, harus dilihat secara detail pada variabel dan indikator dari masig-masing aspket tersebut. Namun secara garis besarnya, dengan capaian tersebut menunjukkan masih ada sejumlah PR bagi bangsa Indonesia untuk terus meningkatkan capaian indeks demokrasi tersebut. Bahwa demokrasi tidak cukup dilihat pada aspek prosedural (procedural democracy) dalam pemilu semata. Setelah kita sukses menyelenggarakan pesta demokrasi dengan penuh antusias dan partisipasi pemilih yang tinggi, maka selanjutnya demokrasi itu harus terejewantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai, semangat dan praktek demokrasi harus dapat terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari (daily life democracy) dalam setiap lapisan masyarakat. Demokrasi yang dilaksanakan setiap hari, di rumah, di sekolah, di kampus, di kantor pemerintahan, di gedung dewan, di lembaga swasta, di pasar dan di tempat-tempat bulik lainnya. Nilai-nilai demokrasi harus tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Banyak nilai-nilai demokrasi yang sepatutnya sebagai bangsa beradab kita bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Namun di anataranya yang sangat krisual, adalah sebagai berikut: Pertama, Ideal demokrasi bertujuan untuk mencapai kehidupan pada derajat kebaikan, atau kebahagiaan bersama. Sebesar-besaarnya kebaikan tersebut dapat dirasakan oleh rakyat. Rakyat harus merasakan impact positif dari penerapan demokrasi tersebut dalam pemenuhan hak-haknya. Hak-hak politik rakyat harus terjamin dan terlayani dengan baik. Hak mendapatkan kehidupan yang layak. Hak mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Hak mendapatkan jaminan kesehatan. Hak mendapatkan informasi. Hak mendapatkan pekerjaan. Hak berpartisipasi dalam pemerintahan, dan hak-hak lainnya sebagai warga Negara sebagaimana diatur dalam perundang-undangan. Negara atau pemerintah dan jajaran birokrasi di semua level harus memberikan pelayanan yang maksimal dalam rangka pemenuhan-hak-hak sipil tersebut. Rakyat harus dibuat sejahtera. Rakyat harus dibuat bahagia. Untuk itu rakyat harus dilayani dengan sebaik-baiknya. Memimpin adalah melayani. Bukan justru sebaliknya, rakyat yang harus melayani pemimpinnya.
Kedua, Tujuan ideal demokrasi selanjutnya adalah pengakuan kemerdekaan atau kebebasan setiap individu. Setiap individu memiliki hak untuk menentukan kehidupannya. Negara harus menjamin kebebasan setiap Negara dalam mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat, serta memeluk suatu agama atau kepercayaan. Setiap orang harus menghormati perbedaan yang ada, termasuk perbedaan pendapat dan keyakinan. Tidak ada satu pihak pun yang boleh memaksakan kehendaknya terhadap orang lain. Baik yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau sesama warga sipil. Apa lagi pemaksaan itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan, atau dengan cara-cara yang melanggar norma, etika dan hukum.
Ketiga, Demokrasi juga menghendaki adanya kesetaraan atau kesederajatan di antara setiap individu. Tidak ada istimewa satu kelompok atau golongan dibandingkan dengan kelompok atau golongan yang lain. Tidak ada satu suku bangsa atau pemeluk agama merasa superior terhadap suku bangsa atau pemeluk agama lainnya. Apalagi hal tersebut menjadi faktor pemicu munculnya konflik, yang justru saling merugikan. Padahal salah satu falsafah demokrasi kita adalah bhineka tunggal ika. Dalam tataran empirik, kita masih sering menyaksikan tindakan-tindakan rasial, bullying, pelecehan, dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak mencerminkan sikap penghormatan terhadap kelompok, golongan, suku, dan agama lain, baik itu melalui tindakan, verbal, gambar, meme atau media lainnya. Apalagi di dunia maya, saat ini seolah menjadi lahan yang subur bagi tumbuh dan menjamurnya ujaran-ujaran kebencian (hate speech) yang saling menghina dan menghujat antara satu individu terhadap individu lainnya, atau atau satu kelompok terhadap kelompok lainya. Seolah rasa saling menghargai, hormat mengormati dan toleransi absen dalam konteks kehidupan sosial bermasyarakat. Saat ini sikap-sikap tersebut seolah terasa sangat mahal harganya. Padahal dalam al-Quran juga dinyatakan bahwa Allah menciptakan manusia itu bersuku-suku (syu’ub) dan berkabilah-kabilah (qaba’il), tujuannya adalah untuk saling mengenal (li ta’arafuu)(QS al-hujurat: 13 ). Dan apada ayat yang lain terdapat larangan untuk saling menghinakan dan memperolok-olok golongan atau kelompok yang lain, sebab bisa saja yang kita hinakan itu lebih baik dari kita (QS al-Hujurat:11).
Keempat, hal yang tidak kalah penting lagi dalam konteks implementasi nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari, adalah aspek kepatuhan terhadap hukum. Hukum diciptakan untuk menghadirkan keteraturan dan ketertiban sosial dalam kehidupan masyarakat. Setiap individu dalam masyarakat memiliki keinginan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Keinginan yang berbeda-beda tersebut bisa saling bertabrakan jika tidak ada aturan yang membatasinya. Para ahli hukum banyak memberikan penjelasan tentang fungsi peran dan hukum dalam masyarakat. Selain sebagai berfungsi untuk menciptakan ketertiban, hukum juga berfungsi untuk menciptakan keadilan sosial, menciptakan rasa aman dan menjaga dan melindungi hak-hak setiap indvidu, sebagai sarana penyelesaian sengketa, dan lain-lain. Demokrasi tanpa dibarengi semangat kepatuhan terhadap hukum, akan tidak terkontrol. Sangat rawan terjadinya penyelewengan. Maka kepatuhan hukum menjadi salah satu pilar utama dalam demokrasi. Kepatuhan terhadap hukum ini, harus dimulai dari para elit pemimpin di semua level, dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Kepatuhan terhadap hukum harus dimulai dari hal-hal sederhana dalam kehidupan kita. Anak mematuhi aturan keluarga. Siswa mentaati tata tertib sekolah. Para pengendara mematuhi aturan lalu lintas di ajalan raya. Warga Negara taat bayar pajak. Para pengusaha menghormati dan memenuhi hak-hak pekerja. Para pegawai datang ke kantor dan pulang tepat waktu. Mahasiswa mematuhi aturan ketika melakukan unjuk rasa. Aparat dan pejabat berdisiplin dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang bisa dilakukan dala 3tt4m kehidupan-sehari-hari.
Untuk bisa melakukan hal tersebut, butuh peran dan tanggung jawab semua pihak, mulai dari para elit pemimpin, birokrat, lembaga-lembaga demokrasi, lembaga-lembaga pendidikan, para cendekiwan, tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga masyarakat itu sendiri. Para elit pemimpin harus memiliki komitmen untuk selalu memperjuangkan rakyat, serta siap memberikan keteladaan yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Birokrat harus dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan memberikan pelayanan yang optimal kepada masyararat. Lembaga pendidikan dan lembaga demokrasi harus mampu memberikan edukasi dan pencerahan kepada masyarakat untuk menjadi warga Negara yang baik. Dan tentunya masyarakat sendiri harus memiliki kesadaran untuk melaksanakan nilai-nilai demorasi dalam kehidupan sehari-harinya, dimulai dari unit sosial yang paling kecil.
Meminjam istilah tasawuf, untuk bisa melakukan tersebut dibutuhkan mujahadah (kesungguhan) dan riyadhah (latihan) dari hal-hal yang nampak sederhana, untuk dapat naik pada maqam (level) yang lebih tinggi. Kita memang harus naik kelas. Tak perlu melompat, lakukan secara bertahap. Meminjam sebuah judul artikel Prof. Afif Muhammad, Guru Besar UIN Bandung, “mari kita naik sedikit saja”. Jika itu secara konsisten bisa kita lakukan, maka prospek demokrasi di Indonesia akan semakin baik. Jika hal tersebut bisa dilaksanakan, maka kesuksesan demokrasi tak sekedar pada aspek procedural democracy, namun pada aspek substantif, yakni terimplementasikannya nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan sehari-hari pun dapat diwujudkan. Wallahu a’lam.
(faisal/tasikraya)