HILANGNYA SENDI DEMOKRASI DAN OTONOMI DAERAH MELALUI KORPORATOKRASI UNDANG UNDANG OMNIBUS LAW CIPTAKER

  • Bagikan
banner 468x60

Penulis: Rahmad Riadi

( Peserta Advance Training HmI Badko Riau – Kepri )

Pemerintah Indonesia sedang melakukan upaya dalam mengejewantahkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana paradigma pancasila. Pemerintah berupaya   meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui Investasi.

Dalam mengimpelementasikannya pemerintah telah mengesahkan sebuah Undang-Undang Omnibus Law yang dengan alasan guna memangkas dan menyederhanakan berbagai regulasi yang dinilai sudah terlalu banyak dan tumpang tindih, terdapat 8.451 aturan di tingkat pusat dan 15.985 peraturan daerah. Dimana hal tersebut membuat pemerintah terkekang dan terbatas ruang geraknya sehingga kecepatan pemerintah dalam mengambil keputusan menjadi terlambat dan kurang tepat.

Omnibus law adalah suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyelesaikan isu besar dengan mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus, sehingga menjadi lebih sederhana. Penetapan omnibus law yang tujuan akhirnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Salah satu rancangan undang – undang Omnibus Law yang telah disahkan adalah Undang-Undang Cipta Kerja. Sejak dalam perancangan undang undang ini telah menuai banyak polemik berupa penolakan dari berbagai elemen, utamanya masyarakat. Dapat dikatakan bahwa produk hukum omnibus law adalah produk yang tidak partisipatif. Karena merugikan masyarakat utamanya sektor buruh (pekerja).

Bentuk kerugian yang pertama terkait dengan dihapuskanya upah minimum yang sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang memang dinilai sudah cukup berpihak pada buruh. Hal ini akan menjadi preseden yang buruk dimana pemerintah akan mengatur sistem upah perjam yang secara otomatis akan menghilangkan sistem upah minimum. Sebab tidak menutup kemungkinan dalam praktiknya pengusaha akan sangat mudah untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40 jam.

UU Omnibus Law berpotensi mengebiri eksistensi otonomi daerah, dimana 15.985 peraturan daerah yang dianggap menghambat akan di hilangkan. Menurut Mahkamah Konstitusi, kewenangan Menteri Dalam Negeri ataupun Gubernur untuk mencabut Perda dan Peraturan Kepala Daerah adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 18 Ayat 6, Pasal 28D Ayat 1, dan Pasal 24A Ayat 1 UUD 1945. Kewenangan pemerintah pusat pun semakin absolut diperkuat dengan klausul-klausul baru dari UU Cipta Kerja. Pada Pasal 164, tertulis jelas bahwa dengan berlakunya UU Cipta Kerja, maka kewenangan menteri, kepala lembaga, ataupun pemda yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja wajib dimaknai sebagai kewenangan presiden.

Penulis berpandangan bahwa Pemerintah pusat juga tidak boleh sewenang-wenang dalam mengakuisisi kewenangan dari pemerintah daerah karena otonomi daerah dengan pola desentralisasi seharusnya memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk mengurusi rumah tangganya sendiri. Dan pemerintahan pusat seharusnya juga konsisten dalam berbagi kekuasaan dengan pemerintahan daerah. Karena pemerintah pusat tentu juga terbantu oleh pemerintahan daerah dalam melaksanakan pengembangan dan pembangunan di daerah. Pembahasan Omnibus Law harus turut serta melibatkan Pemerintah Daerah agar termanifestasikan kesepakatan (consensus) dari komunikasi dua arah antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sehingga akan bertitik akhir kepada sinergitas birokrasi pusat dan daerah.

Sejak awal pembahasan rancangan undang-undang ini sangat minim sekali partisipasi publik. Pekerja adalah bagian dari masyarakat dan juga sebagai pemangku kepentingan (Stakeholders). Sehingga sudah seharusnya dilibatkan dalam proses pembahasan RUU Omnibus Law. Yang lebih mencengangkan adalah Rancangan Undang-Undang Omnibus Law lebih didominasi oleh Pemerintah dan pengusaha. Sehingga tepat rasanya menegasikan Negara Republik Indonesia dikuasai oleh Korporatokrasi (pemerintahan perusahaan) yaitu sebuah istilah yang mengacu pada bentuk pemerintahan dimana kewenangan telah didominasi atau beralih dari negara kepada perusahaan-perusahaan besar sehingga petinggi pemerintah dipimpin secara sistem afiliasi korporasi (perusahaan).

 

*Tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

banner
  • Bagikan