Esensi Idul Fitri Dalam Resonansi Tradisi & Pandemi

  • Bagikan
banner 468x60

Penulis : Edi Bukhori

Getaran dan atmosfir bulan Ramadhan telah berlalu, begitu pula dengan hal–hal yang mungkin sangat dirindu oleh umat Islam selama setahun kedepan. Mulai dari puasanya, buka bersama, tarling, tadarrusnya, penantian lailatul qodarnya, suasana malam yang penuh dengan kedamaian, hingga kelakuan kita yang mendadak menjadi baik. Yang semula tidak pernah melaksanakan sholat malam, tiba-tiba saat Ramadhan dengan penuh perjuangan berhasil melaksanakan.

Bagi yang tangannya sangat kaku untuk memberi, tiba-tiba saat Ramadhan datang belenggu kekakuan seakan sirna diganti oleh dekapan lembut tangan-tangan yang gemar bersedekah. Dan bagi yang tidak pernah berpuasa selama 11 bulan, tiba-tiba dengan rela hati membiarkan dirinya menahan haus dan dahaga dari fajar menyapa hingga petang menjelang.

Walau tahun ini, harus menahan rindu dan berusaha tunduk dengan symphoni budaya khas dan tak pernah lepas dari Indonesia yaitu tradisi mudik Lebaran. Tradisi ini telah menjadi ritual sosial bagi umat muslim di Indonesia, tidak peduli dari golongan kaya atau miskin. Berbagai motivasi turut menyertai peserta mudik Lebaran, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orangtua, silaturahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Kini Ramadhan telah pergi dengan segala kerinduan yang menghampiri. Setiap umat muslim sejati mengais hati, memohon kepada sang pencipta untuk menahan bulan Ramadhan agar tidak lekas pergi. Hanya sedih yang menghampiri, tapi tak apa Allah telah berkenan menjadikan kita suci di hari yang fitri.

Kita telah digembleng selama satu bulan penuh, di tatar dengan hal-hal yang baik, dan diberi motivasi- motivasi jiwa lewat momentum ramadhan. Itu adalah senjata serta perisai kita dalam menghadapi perang melawan nafsu syaithan selama sebelas bulan ke depan. Semoga kita mampu untuk menang melawannya, menghindari terkubur di dalam lembah kenistaan, dan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah hingga ramadhan kembali datang.

Idul Fitri bukan hanya tentang baju baru, sandal baru, pasangan hidup baru, hingga rumah yang baru. Idul Fitri juga bukan tentang takbir yang memburu, suasana kekeluargaan yang mengharu biru, atau rendang dan ketupat yang tersedia di meja. Tetapi I’dul Fitri tentang bagaimana jadinya kita. Bagaimana hasil didikan Allah kepada kita selama satu bulan Ramadhan.

Seperti yang telah dijelaskan di dalam surat yang sangat terkenal selama ramadhan yaitu surat Al-Baqoroh ayat 185. Di dalam surat tersebut dijelaskan layaknya sebuah etape perlombaan yang diawali oleh kata “orang- orang yang beriman” dan di akhiri oleh kata “orang- orang yang bertaqwa”.

Hal tersebut adalah poin terpenting dalam menyambut Idul Fitri, apakah kita sudah menjadi orang-orang yang bertaqwa atau belum. Jika kita sudah menjadi pribadi yang bertaqwa, menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya, maka kita menjadi pribadi yang sangat beruntung telah sukses mengarungi samudera Ramadhan dengan penuh kenikmatan.

I’dul Fitri juga disebut sebagai momentum untuk bersatu. Momentum untuk saling merekatkan diri antara satu dengan yang lain. Momentum untuk meningkatkan rasa persatuan baik secara internal maupun eksternal. Internal dengan menahan kedengkian terhadap orang lain diganti menjadi sikap ramah tamah penuh pemurah kepada sesama muslim.

Selain itu juga berusaha untuk membersatukan jiwa secara eksternal, berdamai dengan segala yang menjadi musuh kita. Memang sangat sulit untuk berdamai dengan musuh yang telah lama menghantui kita. Kuncinya adalah sabar, dengan sabar jalan-jalan kenikmatan akan ramai terbuka.

Fajar 1 Syawal 1442 sebentar lagi akan tiba. Umat Islam dari segala arah dan penjuru dunia dari sabang sampai merauke tak henti-hentinya mengumandangkan alunan suara takbir, tasbih, tahmid dan tahlil.

Bahkan sebagian masyarakat kita, pada malam hari raya Idul Fitri melakukan takbir keliling yang sudah menjadi budaya. Walaupun tahun ini diganti dengan bergemuruh di mesjid dan rumah masing -masing, karena pandemi masih bersemi dibumi pertiwi, Hal ini sesungguhnya merupakan manifestasi kebahagiaan setelah berhasil memenangi ibadah puasa, atau sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kemenangan besar yang kita peroleh setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan.

Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. ” Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Hiasilah hari rayamu dengan takbir.”

Di akhir tulisan ini, mari kita bersama untuk mendalami esensi terdalam dari takbir dan I’dul fitri dengan fondasi Taqwa untuk menjadi golongan yang al’aidzin wal Faidzin. Spirit itu hadir sebagai sikap dan harapan besar kepada yang maha kuasa setelah sapaan dan doa’ terbaik yang dilantunkan oleh setiap muslim “taqobalallahu minna wa minkum”. Tak terkecuali, esensi takbir dan I’dul fitripun termanifestasikan dalam resonansi tradisi yang membuat tatanan sosial budaya yang harmonis, dinamis, dalam bingkai hadirnya kebesaran tuhan dalam dalam jiwa setiap insan dan symphoni kedamaian dalam kebhinekaan. Faidza farogta fansob, wa ila robbika Farghob

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَيَجْعَلَ اللهُ لَنَا مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ

Selamat hari raya idul fitri 1442 H
Mohon maaf lahir dan bathin

Rumah Pesona, 1 Syawal 1442H
Semoga gemuruh doa’ untuk kebaikan negeri, mengakhiri pandemi di bumi pertiwi

تَحَصَّنَّا بِذِي الْعِزَّةِ والجَبَرُوْتِ، واعْتَصَمْنَا بِرَبِّ المُلْكِ والمَلَكُوْتِ، وَتَوَكَّلنا عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا يَمُوْتُ.
اللُهم اصْرِفْ عَنَّا هذا الوَبَاءَ، إنك على كل شيء قدير

@RumahSakinah

  • Bagikan