Eksploitasi Perempuan di Abad 20

  • Bagikan
banner 468x60

Oleh : Fadhil Muhammad

Suatu hari, Grace Kelly, Ratu Monaco sedang berjalan-jalan di luar istana. Ia menemui rakyatnya dari berbagai kalangan. Ia tampak ramah, santun dan dicintai rakyatnya. Pada saat itu, Sang Ratu sedang mengandung Pangeran Albert II. Tentu sebagai orang terpandang, berpendidikan tinggi, dan berbudi luhur, Sang Ratu tidak ingin publik tahu bahwa ia sedang hamil. Sehingga, ia menutupi bagian sensitif dari tubuhnya dengan kain panjang (mungkin kalo zaman sekarang Cardigan) dan kebetulan saat itu ia sedang menjinjing tas bermerek Hermes. Lalu digunakanlah tas itu untuk menutupi perutnya yang sedang hamil. Sehingga publik lebih memperhatikan merek ‘Hermes’ yang dipakai oleh Sang Ratu. Dan akhirnya, tas Hermes naik daun.

Ramai-ramai perempuan memakai tas Hermes untuk menaikan status sosialnya. Hanya untuk bergaya, dicap sosialita dan kekinian tanpa tahu makna filosofisnya. Padahal ada pesan tersirat dari peristiwa Ratu Grace Kelly. Salah satunya yaitu pesan untuk menutup bagian tubuh yang sensitif sehingga tidak menjadi konsumsi publik. Dengan cari itu, Sang Ratu telah menjaga identitasnya, kehormatannya dan tidak membiarkan tubuhnya diperbudak oleh fashion atau brand terkenal sekalipun. Berbeda dengan zaman sekarang. Perempuan cenderung senang diekploitasi untuk memenuhi permintaan pasar.

Di dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, “exploitation” yang kemudian diserap menjadi “eksploitasi” dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai istilah yang sering muncul dalam diskursus Marxis tapi kini menjadi istilah yang jamak dipakai. Pertama, Di dalam glosarium online istilah Marxis, ekploitasi secara sederhana diartikan sebagai pemanfaatan titik lemah satu pihak oleh pihak lain sebagai alat untuk meraih tujuannya sendiri dengan biaya (expense) dari pihak yang dimanfaatkan tersebut. Kedua, Pengertian yang dirumuskan Feinberg mungkin lebih mudah dipahami, eksploitasi adalah ketika A menjadikan suatu kapasitas dari B sebagai alat untuk mengeruk keuntungan. Ketiga, Maka eksploitasi terhadap perempuan dalam konteks ini adalah ketika pihak-pihak tertentu menjadikan tubuh perempuan (kapasitas dari B) untuk meraih keuntungan.

Dalam kegiatan bisnis dimana lekuk tubuh perempuan dijadikan alat untuk memperkenalkan dan menjual produk. Contoh dalam iklan sabun dan SPG Rokok. Eksploitasi dalam kegiatan  advertising dan semcamnya tidaklah dilihat dalam suatu pemahaman sempit mengenai bagaimana proses keikutsertaan atau keterlibatan perempuan di dalamnya.

Pada banyak kasus para perempuan yang terlibat kemungkinan besar berangkat dari keinginan/kesadaran sendiri—tidak dipaksa—yang di latarbelakangi banyak faktor, misal masalah ekonomi, ingin terkenal, jalan pintas untuk populer dan sebagainya. Namun yang dimaksud eksploitasi disini adalah lebih pada gagasan yang dibawa oleh tayangan-tayangan semacam itui. Yakni kesan yang menjadikan kaum perempuan secara konsisten dan berkelanjutan ditampilkan dalam posisi yang rendah. Perempuan dianggap sebagai mahkluk yang hanya bermodalkan daya tarik seksual semata.4

Selain dalam hal advertising, perempuan juga dieksploitasi sebagai pekerja kasar atau buruh di pabrik-pabrik yang didirikan atas nama investasi. Untuk wilayah Jawa Barat, pabrik-pabrik terpusat di kawasan Jabodetabek, Purwakarta, Sukabumi dan Bandung. Sehingga apabila berkunjung ke daerah tersebut dan tepat pada saat jam pulang jam kerja, kita akan menemukan banyak buruh pabrik perempuan, terutama di pabrik tekstil, farmasi dan garmen. Memang tidak ada yang salah dengan buruh pabrik perempuan tetapi sering timbul masalah kepada buruh perempuan seperti pelecahan seksual, mengalami kekerasan verbal dan non verbal, kurang diperhatikannya para wanita yang sedang hamil. Kemudian tidak diberikannya upah secara maksimal. Selain itu, dengan gaji yang rendah, buruh perempuan juga kerap menerima tindak kekerasan dari para majikan, baik buruh di luar maupun dalam negeri, atau bahkan sampai ada yang dibunuh.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik pada tahun 2012 dari jumlah buruh Indonesia yang mencapai 112 juta orang, sebanyak 43 juta diantaranya adalah buruh perempuan. Nasib buruh di Indonesia semakin perlu diperhatikan. Dari data ILO pada 2014 terkait pelecehan seksual di industri garmen, dari 1.223 pekerja wanita di 44 pabrik garmen di Indonesia berusia 26 hingga 30 tahun yang sudah bekerja 1-2 tahun lebih terbuka melaporkan pelecehan seksual dibanding negara tetangga seperti Vietnam.

Dari kasus yang telah terjadi ini meyakinkan bahwa sungguh memprihatinkan kondisi buruh khususnya wanita. Mau tidak mau tekanan kapitalisme mendorong perempuan keluar dari rumah. Akibatnya, ketika perempuan terdesak keluar rumah untuk mencari pekerjaan, posisi mereka dianggap sebagai pencari nafkah tambahan sehingga ini berpengaruh kepada upah kerja mereka. Terlebih lagi buruh wanita pada umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah, bekerja disektor pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan tinggi, ketrampilan dan keahlian khusus.

Dibandingkan dengan buruh laki-laki, kesejahteraan buruh perempuan lebih buruk. Kemudian terjadi diskriminasi upah yang diberikan kepada buruh laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang harus menjadi perhatian para aktivis Feminisme dan aktivis Gender Equality, agar mencegah eksploitasi terhadap perempuan dengan cara meningkatkan intelektualitas kaum perempuan. Mindset yang berkembang di masyarakat adalah perempuan tidak perlu untuk berpendidikan tinggi, karena nanti akan ikut suami dan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga.

Harus disadari pula bahwa hak dan derajat perempuan itu sama dengan lelaki. Bahwa perempuan mampu melakukan pekerjaan yang sama bahkan lebih baik dari lelaki. Bahwa perempuan mampu melakukan perubahan sosial, bahkan menentang perlakuan para lelaki sekalipun.

Editor : Faisal Akbar/tasikraya.com

  • Bagikan