Kabupaten Tasikmalaya, tasikraya.com-
Ketua DPK Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman) Kabupaten Tasikmalaya angkat bicara terkait polemik anggaran Sekretariat Daerah Kabupaten Tasikmalaya yang menembus angka Puluhan Miliar Rupiah di tahun anggaran 2025.
Kini kembali membuka ruang polemik diskursus publik tentang arah kebijakan fiskal daerah. Ironisnya, ditengah retorika Bupati Tasikmalaya mengenai kebijakan efisiensi, justru muncul berbagai pos anggaran yang dinilai kontradiktif mulai dari belanja pakan Kepala Daerah hingga internet berlangganan dengan nilai yang fantastis.
Menurut Givan Alifia Muldan, Ketua DPK Jaman Tasikmalaya mengatakan klaim efisiensi yang lahir dari jawaban sepihak birokrasi tanpa verifikasi lintas pemangku kepentingan merupakan bentuk regresi tata kelola publik yang tentu berpotensi tanda kutip.
Ia mengatakan setidaknya kaitan dalam hal ini mencerminkan dua problem utama:
“Pertama, kami organisasi Jaringan Kemandirian Nasional mengatakan lagi dan lagi telah terjadi istilah defisit transparansi yang mana dalam hal ini anggaran publik tidak semata angka. Tetapi representasi kontrak sosial antara Pemerintah dan Masyarakat yang artinya ketika transparansi dilemahkan, kontrak sosial tersebut kehilangan legitimasi. Kedua, absennya kontrol partisipatif: Teori good governance menegaskan pentingnya keterlibatan publik, legislatif, media, dan akademisi dalam siklus kebijakan fiskal. Mengandalkan narasi efisiensi dari satu pintu birokrasi sama halnya dengan membangun epistemologi anggaran diatas monolog, bukan dialog.”Papar Givan pada wartawan, Kamis Malam (28/8/2025).
Givan menegaskan terlalu naif dan ironis ketika mendengar respons Sekda selaku Ketua TAPD yang justru terkesan defensif dan menuntut proseduralitas sempit (misalnya meminta media membuat surat audiensi resmi).
“Ya, ini merupakan langkah yang tidak proporsional dan kontra produktif terhadap semangat transparansi demokratis, seorang Sekda seharusnya dituntut mampu bersikap bijaksana dengan mengedepankan reflexive governance bukan alih-alih merasa “tidak dihargai”, Seorang Jendral ASN Pejabat Public strategis idealnya menempatkan kritik sebagai early warning system bagi perbaikan kebijakan.”Tegas Givan.
Bagi dari Jaringan Kemandirian Nasional, Ungkap Givan, Sekda Kabupaten Tasikmalaya Moh Zen hanya memperpanjang daftar kelemahan tata kelola publik yang sudah lama dikritik oleh Akademisi, Media, OKP dan Masyarakat Sipil.
Adapun itu, kata Givan, fenomena ini menandai kemunduran epistemologis dalam kebijakan publik. Artinya alokasi pos anggaran tidak lagi tunduk pada parameter empiris (Audit, evaluasi kinerja, cost–benefit analysis).
Melainkan pada narasi retoris yang justru rentan menutupi inefisiensi structural diantarannya beberapa pos belanja yang menuai kritik karena dinilai tidak proporsional:
Daftar Pos Anggaran dan Nilainya:
Makan dan Minum (Rapat, Jamuan, Kepala Daerah, Wakil): Rp 1.800.000.000
Alat Tulis Kantor: Rp 1.300.000.000
Tenaga Kebersihan: Rp 1.500.000.000
Medical check-up: Rp 1.200.000.000
Pengadaan kendaraan bermotor: Rp 1.900.000.000
Pembelian Tanah (Untuk Bangunan Kerja/JIC): Rp 1.700.000.000
Belanja Barang kepada pihak ketiga: Rp 1.200.000.000
Belanja Barang kepada Masyarakat: Rp 5.800.000.000
Belanja Pakan untuk Kepala Daerah dan Wakil:
Rp 480.000.000 + Rp 360.000.000 = Rp 840.000.000
Internet & TV berlangganan: Rp 437.000.000
Alat Rumah Tangga: Rp 626.000.000
Konsultasi & Studi Penelitian: Rp 500.000.000
Jasa Prasarana & Pelayanan Umum: Rp 437.000.000
Pemeliharaan Gedung Kantor: Rp 400.000.000
Pemeliharaan Pendopo Lama & Baru: Rp 558.000.000
Bukan hanya itu, anggaran swakelola: Rp 7,7 Miliar lebih, perjalanan dinas: Rp 2,7 Miliar lebih mencakup perjalanan luar Kota dan dalam Kota dengan nilai per kegiatan mencapai Ratusan Juta Rupiah.
Belanja Makan Minum: Rp 223 Juta dan Belanja sosialisasi: Rp 573 juta (belum jelas bentuk kegiatan dan target audiens).
“Rasa-rasanya anomali yang justru efisiensi itu dipertanyakan, klaim efisiensi yang lahir dari pos jawaban sepihak birokrasi tanpa kontrol pemangku kepentingan, justru menegaskan regresi tata kelola public.”Imbuhnya.
Kemudian, untuk pertanyaannya? Bagaimana Bupati Tasikmalaya dapat mengklaim kebijakan efisiensi.
Sementara, kata Givan, terdapat alokasi anggaran yang secara empiris tidak memenuhi prinsip value for money.
“Misalnya belanja pakan kepala daerah dan internet berlangganan dengan angka fantastis? Apakah kebijakan efisiensi yang Bupati maksud di dasarkan pada analisis cost–benefit atau hanya jargon politik tanpa metodologi akademik?.”Bebernya.
Sehingga, jika Pemerintah Daerah tidak mampu menjelaskan secara ilmiah transparan dan berbasis data empiris mengenai kontradiksi antara klaim efisiensi dan realitas anggaran, tidakah itu berarti bahwa kebijakan fiskal Kabupaten Tasikmalaya telah mengalami regresi tata kelola publik yang tidak hanya melemahkan kepercayaan masyarakat, tetapi juga mencederai prinsip good governance.
Namun, kata Givan, sebaliknya jika kita bicara langkah-langkah maupun solusi kongkrit untuk menghindari jebakan efisiensi semu dan mengembalikan marwah tata kelola publik.
Pertama, audit independen dan publikasi periodik yang artinya melibatkan BPK, Inspektorat Independen, dan akuntan publik untuk mengaudit seluruh pos belanja Sekretariat Daerah.
“Tentunya simultan dengan hasil audit harus di publikasikan secara periodik melalui kanal resmi agar masyarakat secara umum dapat mengaksesnya dengan mudah. Kemudian yang kedua forum akuntabilitas terbuka (Publik Hearing).”Cetusnya.
Dalam hal ini, Ungkap Ketua Jaman, Sekda dan jajaran komposisi struktur strategis dibawahnya wajib membuka ruang dialog resmi bersama DPRD, Media, Akademisi, dan organisasi masyarakat sipil.
“Yang mana tentu hal ini sejalan dengan prinsip partisipasi Budgeting yang menempatkan rakyat bukan sebagai objek, melainkan subjek kebijakan.”Tuturnya.
Givan mengatakan Organisasi Jaringan Kemandirian Nasional menyatakan sedikit menyampaikan polemik anggaran Sekretariat Daerah Kabupaten Tasikmalaya bukan sekadar soal angka. Akan tetapi soal akuntabilitas dan kepercayaan publik.
“Kritik yang muncul harus di pandang bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai pengingat Akademis bahwa setiap kebijakan wajib diuji oleh data, transparansi, dan partisipasi masyarakat.”Terang dia.
Sejatinya, kata dia, efisiensi bukan retorika, melainkan komitmen nyata yang terukur dan pejabat publik yang bijaksana adalah mereka yang mampu menjadikan kritik sebagai bahan refleksi.
“Bukan resistensi dan masyarakat berhak menuntut agar efisiensi tidak sekadar slogan politik. melainkan praktik nyata berbasis data, audit dan partisipasi publikk. Karena pada akhirnya, efisiensi bukan sekadar memangkas anggaran. Tetapi memastikan setiap rupiah anggaran publik kembali kepada rakyat dalam bentuk pelayanan yang adil, transparan, dan bermartabat.”Pungkasnya.